MAKALAH KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
image source: https://upload.wikimedia.org/
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang
eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat.
Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan
dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak
di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: wujud
Tuhan).
Tradisi
argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini
kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan
Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh
doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan
filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini
juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran
Islam.
Perkara
tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika
kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang
eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi
alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan
Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan
waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam.
Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian
terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.
Tuhan yang
hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul yakni, Tuhan
hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam,
tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1.
Apa itu Filsafat Ketuhanan Dalam Islam
?
2.
Bagaimana Pembuktian Wujud Tuhan Dalam
Islam ?
3.
Bagaimana Proses Terbentuknya Iman?
4.
Apa yang dimaksud Keimanan dan
Ketakwaan ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui Filsafat Ketuhanan Dalam Islam.
2. Untuk mengetahui pembuktian Wujud Tuhan Dalam
Islam.
3. Untuk mengetahui Proses Terbentuknya Iman.
4. Untuk mengetahui apa itu Keimanan dan
Ketakwaan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
FILSAFAT KETUHANAN ISLAM
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau
hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm.
45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A.
mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan
sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas
dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik
adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat
adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan aspek
ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif.
Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak
dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam
pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam
Islam.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan
intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191) sehingga
sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung kecerdasan
pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam Islam
bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan, dimana Ia
sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.
A. Siapakah
Tuhan itu?
Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam
Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau
dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45 (Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:
أَفَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ
اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Dalam QS :
28 (Al-Qashash) : 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلأ مَا عَلِمْتُ
لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ
فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأظُنُّهُ
مِنَ الْكَاذِبِينَ (٣٨)
dan berkata
Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku
bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa
perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau
keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan
dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal
(mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun).
Derifasi makna dari kata ilah tersebut mengandung makna bahwa ‘bertuhan nol’
atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan
atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap
penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya
dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu
Taimiyah memberikan definisi al-Ilah sebagai berikut:
Al-Ilah
ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan
diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah
ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan
ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya (M. Imaduddin, 1989
: 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin atheis,
tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia
pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis
pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah ideologi atau
angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa
Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada
Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal itu
berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam Tuhan
terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan, yaitu
Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami tentang siapakah Allah, DR.
M. Yusuf Musa menjelaskan dalam makalahnya yang berjudul “Al Ilahiyyat Baina
Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam
buku Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan : Dalam ajaran
Islam, Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi
tanpa kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya.
Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali
pun. Ia yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa perantara
dari siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.
B.
Sejarah
Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran
Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran
manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional
maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah
mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu
yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh
pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh
negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda,
seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai
sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap
sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang apabila kebutuhannya
dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari
roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang
sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak
memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan.
Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan
kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab
terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan
lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan, terutama
terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan
seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan
kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa
hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih
mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan untuk satu bangsa
disebut dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk Henoteisme melangkah menjadi
Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk Monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan
terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan
sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh
Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif.
Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama
monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada
wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhan mereka, yang tidak
mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka
berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).
2. Pemikiran
Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid,
Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul beberapa
periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada saat terjadinya
peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyyah.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula
yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena
adanya perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan
kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian
umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan
tektual sehingga lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional.
Aliran-aliran tersebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan
dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika
Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Mu’tazilah
lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan
dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir
atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas
perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan
dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah
d. Asy’ariyah
dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari kedua aliran ini berada di
antara aliran Qadariah dan Jabariah. Semua aliran itu mewarnai kehidupan
pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode masa lalu. Pada
prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran
dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara
aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan
ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran
dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
2. PEMBUKTIAN
WUJUD TUHAN
Adanya alam organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya
yang pelik, tidak boleh memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang
telah menciptakannya, suatu akal yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal
percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar
itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan
kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi
alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan
yang mengatakan: percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq adalah
suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya,
pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam
semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta ?
Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan
dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan
bahwa: “bangsa arab yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi pencipta
langit dan bumi.
Berdasarkan kandungan ayat ini,
dapat dipahami bahwa bangsa arab sesungguhnya telah memahami dan meyakini akan
eksistensi Tuhan sebagai pencipta langit dan bumi serta pengaturnya. Namun
menurut al-Quran, ada segelintir anak manusia yang menolak eksistensi tuhan, seperti penggambaran
al-Quran dalam Q.S. al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini menegaskan bahwa: “mereka berkata: “
kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan kita
hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan
eksistensi tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan
semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang meyakinkan seperti ditegaskan
dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga
saja.
Banyak
sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang keberadaan
Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang terkandung dalam surah Ali-Imran
ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan sungguh Allah Maha Perkasa , Maha Bijaksana.
Keesaan Allah SWT adalah mutlak. Ia
tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam,
yang mengikrarkan kalimat syahadat Laa
ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas utama
dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Banyak
sekali bukti-bukti yang dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Tuhan adalah
Wujud (ada). Bukti klasik yang sering digunakan adalah tentang adanya alam
semesta. Setiap sesuatu yang ada tentu diciptakan dan pencipta adalah
Allah SWT Tuhan pencipta alam semesta. Pembuktian dengan pendekatan seperti
diatas sebenarnya bukanlah hal baru lagi. Jauh sebelum umat Islam menggunakan
pembuktian semacam itu, Plato telah mengemukakan teori dalam bukunya Timaeus
yang mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang
menjadikan.
3. PROSES TERBENTUKNYA IMAN
Benih iman yang dibawah sejak dalam
kandungan memerlukan pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila
tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah.
Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang
akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan
keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda mati
seperti cuaca, tanah , air, dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara
langsung maupun tidak langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat
berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga
senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman
juga demikian. Diawali dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi
senang atau benci. Mengenal ajaran Allah SWT adalah langkah awal dalam mencapai
iman kepada Allah SWT. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah SWT, maka
orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah SWT.
Disamping proses pengenalan, proses
pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa
saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam
melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
4. KEIMANAN DAN KETAKWAAN
Kata iman berasal dari Bahasa Arab,
yaitu amina-yukminu-imanan yang
secara etimologi berarti yakin atau percaya. Dalam surat Al-Baqarah 165, yang
artinya “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah”.
Iman kepada Allah berarti percaya
dan cinta kepada ajaran Allah, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Apa yang
dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan apa saja untuk mewujudkan harapan dan
kemauan yang menuntut Allah kepadanya.
Dalam hadits dinyatakan bahwa iman
adalah hati membenarkan,lisan mengucapkan dan dikerjakan dalam kehidupan
sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi
waiqroru bil lisan wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam
rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun islam.
Iman itu mengikat orang islam, ia
terikat dengan segala aturan hukum yang ada dalam islam sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya, orang Islam itu harus Iman, sehingga ia
meyakini ajaran Islam dan secara totalitas mengamalkannya dalam seluruh
kehidupannya.
Iman atau kepercayaan merupakan
dasar utama dalam memeluk suatu agama karena dengan keyakinan dapat membuat
orang untuk melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh
keyakinannya tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk orang jadi
bertaqwa.
Dalam surah Al-Baqarah 165 dikatakan
bahwa orang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah. Oleh
karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat cinta dan yakin terhadap
ajaran Allah yaitu Al-Quran. Jika kita ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang segala
sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya bangunan itu sangat
tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut. Meskipun demikian keimanan saja
tidak cukup ia harus diwujudkan dengan amal perbuatan yang baik, yang sesuai
dengan ajaran agama yang kita anut. Keimanan tidaklah sempurna jika hanya
diyakini dalam hati tapi juga harus diwujudkan dengan diikrarkan oleh lisan dan
dibuktikan dengan tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Keimanan adalah perbuatan yang bila
diibaratkan pohon, mempunyai pokok dan cabang. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim berbuat amal shaleh.
Seseorang dikatakan beriman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan
mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinannya.
Berbicara masalah keimanan , kita
bisa melihat takaran keimanan seseorang dari tanda-tandanya seperti :
1. Jika menyebut atau mendengar nama
Allah SWT hatinya bergetar, dan berusaha agar
Allah SWT tidak lepas dari ingatannya.
2. Senantiasa
tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan keimanan
3. Tertib
dalam melaksanakan shalat dan selalu melaksanakan perintahnya
4. Menafkahkan
rizky yang diperolehnya di jalan Allah
5. Menghindari
perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan
6. Memelihara
amanah dan menepati janji
Manfaat dan pengaruh Iman dalam
kehidupan manusia :
1. Iman
melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda
2. Iman
menanamkan semangat berani menghadapi maut
3. Iman
memberikan ketentramann jiwa
4. Iman
mewujudkan kehidupan yang baik
5. Iman
melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
Demikianlah manfaat iman dalam
kehidupan manusia, bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati
manusia, tetapi dapat menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan
perilaku hidup Islami. Apabila suatu masyarakat terdiri dan orang-orang yang
beriman, akan terbentuk masyarakat yang aman, tentram, damai, dan sejahtera.
Kata taqwa berasal dari waqa-yaqi-wiqayah, yang berati takut,
menjaga, memelihara, dan melindungi. Taqwa dapat diartikan memelihara keimanan
yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama islam secara utuh dan konsisten
(istiqomah).
hakikat takwa sebagaimana yang disampaikan oleh Thalq bin
Hubaib, “Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah berdasarkan nur
(petunjuk) dari Allah SWT karena mengharapkan pahala dari-Nya. Dan engkau
meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut
akan siksa-Nya."
Kata
takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau menjauhi hal-hal
yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah Radhiallaahu anhu
ketika ditanya tentang takwa, beliau mengatakan, “Apakah kamu pernah melewati
jalanan yang berduri?” Si penanya menjawab, ”Ya”. Beliau balik bertanya, “Lalu
apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri, maka aku
menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan langkah”. Maka berkata
Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa.”
Karakteristik
orang yang bertakwa secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori /
indikator ketaqwaan:
1. Iman kepada
Allah, iman kepada Malaikat, Kitab-kitab dan para nabi, iman kepada hari
kiamat, serta qada dan qadar dengan kata lain instrumen ketaqwaan yang pertama
ini dikatakan dengan memelihara Fitrah Iman.
2. Mengeluarkan
harta yang dikasihinya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin,
orang-orang yang putus di perjalanan, Atau dengan kata lain mencintai umat
manusia.
3. Mendirikan shalat,
puasa dan zakat
4. Menepati janji
5. Sabar disaat
kepayahan, dan memiliki semangat perjuangan
6. Menahan amarah dan memaafkaan orang lain.
Hubungan
Takwa dengan Allah SWT
Seseorang yang bertakwa (muttaqin)
adalah orang yang menghambakan dirinya kepada Allah dan selalu menjaga hubungan
dengan-Nya setiap saat. Memelihara hubungan dengan Allah terus menerus akan
menjadi kendali dirinya sehingga dapat menghindari dari kejahatan dan
kemungkaran dan membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Karena itu
inti ketaqwaan adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Memelihara hubungan dengan Allah SWT
dimulai dengan melaksanakan tugas (ibadah) secara sungguh-sungguh dan ikhlas,
dan memelihara hubungan dengan Allah SWT dilakukan juga dengan menjauhi
perbuatan yang dilarang Allah SWT.
Hubungan
Takwa dengan sesama manusia
Hubungan dengan Allah menjadi dasar
bagi sesama manusia yang bertakwa akan dapat dilihat dari peranannya
ditengah-tengah masyarakat. Sikap takwa tercermin dalam bentuk kesediaan untuk
mendorong orang lain, melindungi yang lemah dan berpihak pada kebenaran dan
keadilan
Hubungan Takwa dengan Diri sendiri :
1. Sabar, yaitu sikap diri menerima apa saja yang
datang kepada dirinya, baik perintah, larangan, maupun musibah yang menimpanya.
Sabar terhadap perintah adalah menerima dan melaksanakan perintah dengan
ikhlas. Dalam melaksanakan perintah terhadap upaya untuk mengendalikan diri
agar perintah itu dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Tawakkal,
yaitu menyerahkan keputusan segala sesuatu, ikhtiar dan usaha kepada Allah.
Tawakkal bukanlah menyerah, tetapi sebaliknya usaha maksimal tetapi hasilnya
diserahkan seluruhnya kepada Allah SWT yang menentukan.
3. Syukur,
yaitu sikap berterima kasih atas apa saja yang diberikan Allah atau sesame
manusia. Bersyukur kepada Allah adalah sikap berterima kasih terhadap apa saja
yang telah diberikan Allah, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Bersyukur
dengan perbuatan adalah mengucapkan hamdalah sedangkan bersyukur dengan
perbuatan adalah menggunakan nikmat yang diberikan Allah sesuai dengan
keharusannya.
4. Berani,
yaitu sikap diri yang mampu menghadapi resiko sebagai konsekuensinya dari
komitmen dirinya terhadap kebenaran. Jadi berani berkaitan dengan nilai – nilai
kebenaran. Kebenaran lahir dari hubungan seseorang dengan dirinya terutama
berkaitan dengan pengendalian dari sifat – sifat buruk yang datang dari
dorongan hawa nafsunya.
Keterkaitan
Antara Keimanan Dan Ketakwaan
Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat
dipisahkan dan pada hakikatnya keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan
diperlukan manusia agar dapat meraih ketakwaan. Karena setiap perbuatan atau
amalan yang baik, akan diterima oleh Allah tanpa didasari oleh Iman.
Semua bentuk ketakwaan seperti
salat, puasa, zakat, dan haji merupakan bagian dan kesempurnaan iman seseorang.
Amal saleh tersebut merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang harus
menterjemahkan keyakinannya menjadi kongkret dan menjadi satu sikap budaya
untuk mengembangkan amal saleh.
Dalam Al-Qur’an ada ratusan ayat
yang menggandengkan antara “orang yang
beriman” dengan “orang yang beramal
saleh”. Iman dan amal saleh atau iman dan takwa sangat dekat. Seolah hampa
dan kosong iman seseorang kalau tanpa amal saleh yang menyertainya. Yang secara
kongkrit membuktikan bahwa ada iman dalam hatinya. Iman adalah pondasi dasar
seseorang hamba yang menghendaki bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.
Keterkaitan antara iman dan taqwa
ini, juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Al imanu’uryanun walibasuhu at-taqwa” (iman itu telanjang dan
pakaiannya adalah taqwa). Maksud hadits ini adalah iman harus diikuti dengan
melakukan amal saleh (taqwa). Iman tanpa disertai amal saleh maka imannya masih
telanjang tanpa pakaian.
Oleh karenanya, seseorang baru
dinyatakan beriman dan taqwa apabila telah punya keyakinan yang mantap dalam
hati, kemudian mengucapkan kalimat tauhid dan kemudian diikuti dengan
mengamalkan semua perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan makalah ini, kami dapat
menyimpulkan bahwa konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan
atau sesuatu yang dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik
abstrak maupun konkret). Filsafat Ketuhanan dalam Islam merupakan aspek ajaran
yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Kata iman
berasal dari bahasa Arab, yaitu amina-yukminu-imanan,
yang secara ethimologi berarti yakin atau percaya. Sedangkan takwa berasal dari
bahasa Arab, yaitu waqa-yuwaqi-wiqayah,
secara ethimologi artinya hati-hati, waspada, mawasdiri, memelihara, dan
melindungi. Pengertian Takwa secara terminologi dijelaskan dalam Al-hadits,
yang artinya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Tuhan (ilah)
ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian
rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Dalam ajaran Islam
diajarkan kalimat “la illaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai
dengan peniadaan. Yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan
penegasan “melainkan Allah”. Hal ini berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan diri dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada
dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.
B.
Saran
Sebagai pemula di bangku perkuliahan, kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun. Karena saran dan kritik itu akan
bermanfaat bagi kami untuk lebih memperbaiki
atau memperdalam kajian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an
Al Karim
Agung
Sukses, Konsep Ketuhanan Dalam Islam,
http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-ketuhanan-dalam-islam/ (diakses
pada 24 September 2011)
Ahmadi,
Abu, dkk.1991. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta:Bumi Aksara
Azra, Azyumardi, dkk.
2002. Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi umum. Jakarta: Departemen Agama RI
Dr. M. Yusuf
Musa, 1984, Segi-segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (editor : DR. Ahmad
Daudy, MA)
Jakarta : Bulan Bintang.
Kamal, Konsep
Ketuhanan Dalam Filsafat Shadrian,
http://eurekamal.wordpress.com/2007/06/25/konsep-ketuhanan-dalam-filsafat-shadrian/ (diakses
pada 24 September 2011)
Pringgabaya,
Konsep Ketuhanan,
Prof. Dr. H.
M Rasjidi, 1978, Filsafat Agama, Cetakan keempat, Jakarta : Bulan
Bintang
Sayyid
Mujtaba Musawwi Lari, 1989. God and His Attributes: Lessons on Islamic
Doctrine.
Cet. 1.
(Terj. Ilham Mashuri dan Mufid Ashfahani). Mengenal Tuhan dan Sifat-SifatNya.
Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Yunus, Muhammad.1997.Pendidikan Agama Islam untuk
SLTP.Jakarta,Erlangga
www.agungsukses.wordpress.com
www.qodirjae.wordpress.com/2008/05/20/keimanan-dan-ketaqwaan/
www.tafany.wordpress.com
www.wikipedia.com
www.sahabatilmu.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar